Kunjungan Kerja ke Yogyakarta

Mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi di lajur Tol TB Simatupang Jakarta menuju Bandara Soekarno-Hatta. Kami hanya punya waktu 1 jam untuk sampai di sana, padahal kami masih berada di antrian pintu masuk tol di daerah Jagakarsa. Sebelumnya, kami tertahan selama 3 jam di jalan Antasari, Jakarta Selatan.

Jalanan yang cukup padat itu, tidak menghalangi pak Lutfi yang mengendarai mobil dengan kecepatan rata rata di atas 120 km/jam. Tentu saja mobil harus berani menyalip mobil di depannya. Padahal, pak Lutfi baru lima jam lalu selesai cuci darah. Fisiknya belum fit. Hal ini membuat Tony khawatir dengan cara mobil melaju. “Aku kan pengemudi juga. Rasanya aku ikut mengerem. Pegal juga kakiku mengikuti ayunan mobil ini,” ucapnya.

Sesampainya di lobbi luar bandara, kami sudah disambut dengan panggilan melalui pengeras suara bahwa pesawat yang akan kami tumpangi sudah dapat dimasuki penumpang. Kini giliran aku yang harus berjuang. Jalan saja bagiku sangat berat, apalagi harus setengah berlari. Aku tidak memperdulikan lagi tanggapan orang yang melihat aku berjalan cepat sambil membawa dan mengayunkan tongkat.

Dengan nafas yang tersengal-sengal, akhirnya kami bisa duduk di dalam pesawat. Kami bertiga lantas terdiam sambil mengatur pernapasan. Rasanya lega, keluar dari rasa tegang yang begitu tinggi. Selama dalam perjalanan ke bandara, aku sudah membayangkan tiket pesawat yang terbang membawa kami terbang ke Yogyakarta akan hangus. Isi kepala sudah dipenuhi kecemasan, akan beli tiket lagi dengan harga yang sudah naik dua kali lipat.

Akhirnya, pukul 10 malam kami tiba di Yogyakarta. Senang rasanya, karena ini pertama kali Pengurus Pusat KPCDI melakukan kunjungan kerja ke Cabang DIY-JATENG. Kami akan memantau persiapan seminar dan mendiskusikan banyak hal tentang program dan organisasi dengan teman-teman di cabang.

Pagi harinya, kami meluncur ke Rumah Sakit Happy Land, untuk menjadwalkan tindakan traveling cuci darah esok sabtu (11/10/2016). Beginilah repotnya kalau pasien cuci darah berpergian ke luar kota dalam jangka waktu yang lama. Aku harus mempersiapkan administrasi traveling HD (Hemodialisa), baik di Jakarta dan unit HD di kota yang kita tuju.

Siang harinya, kami janjian bertemu dengan panitia di gedung tempat acara, di jalan Magelang-Yogyakarta. Bunda Ely, Pengurus Pusat, sudah terlebih dahulu tiba di sana. Dia datang bersama sang suami, yang kebetulan mempunyai rumah di Yogyakarta. Hani Raharjo, Bendaraha Cabang saat itu, langsung menyambut kami. Disampingnya ada Pak Richard yang baru kali ini aku bertemu. Tak berapa lama kemudian Tika Musfita, Sekretaris Cabang, hadir dipertemuan tersebut.

Hani dan Tika, adalah dua srikandi pengerak acara seminar ini. Hani sudah cuci darah sejak tahun 2003, sudah sangat senior. Pernah melakukan transplantasi ginjal, setahun setelah menjalani cuci darah. Nasib belum berpihak kepadanya, operasi cangkok ginjalnya tak berhasil. Kemudian, ia beralih ke CAPD dan mengalami kegagalan lagi.

“Ginjal kakak ku dipasang ke tubuh ku saat ulang aku berulang tahun, dan sebulan berikutnya, tepat anak ku berulang tahun, ginjal itu harus diambil lagi. Saat itu aku depresi dan menangis,” ujarnya.

Dua hari setelah itu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, terjadi bencana tsunami di Aceh. “Peristiwa itu sungguh membuat aku tersadar, kalau aku bukan orang yang paling menderita di dunia. Aku masih beruntung masih bisa melanjutkan hidup, tidak seperti saudara kita yang di Aceh banyak yang meninggal. Bahkan aku sudah begitu ikhlas saat ini, bila dibanding sebelum cangkok,” katanya,lagi.

Tika juga melakukan transplantasi ginjal. Walau dengan perjuangan yang berat, sudah hampir setahun ini dia lepas dari CAPD dan cuci darah. “Besok hari aku mau operasi. Semua persyaratan pra operasi dan pemeriksaan kelayakan sudah dilalui. Keluarga ku dari daerah Bengkulu juga sudah berkumpul semua di RSCM. Dan ucapan dokter saat itu membuat jantungku seakan berhenti. Dia mengatakan hasil laboratorium darah ayah ku yang akan menjadi donor terinfeksi virus hepatitis B,” ujar perempuan yang menguasai Tari Aceh ini. Ibunda tercintanyalah yang membuat asa Tika tetap terjaga. Ia menggantikan ayahnya menjadi donor. Operasi itu telah membuat Tika sehat dan fit.

“Sorry aku terlambat. Aku baru nge-gym. Keringatku banyak sekali nih. Mana minum?”, tanyanya

Dan air mineral botol besar dengan isi 1500 ml itu langsung diminumnya. Hampir seperempat botol ia habiskan dalam satu tarikan. “Dalam sehari aku harus minum 3 botol besar ini,” ujarnya sambil menunjukan botol minumnya

Ketika perut kami keroncongan, diskusi kami pindahkan ke Soto Ayam Pak Slamet. Warungnya sederhana, tapi cukup nyaman, karena di tengah rimbun pepohonan. “Kami mengusulkan Cabang DIY-Yogyakarta dipisah. Kami sudah mempunyai kepercayaan diri untuk berdiri sendiri. Kalau harus bergabung dengan Jawa Tengah, koordinasinya terlalu jauh. Ini usul lho, biar organisasi maju,” ujar Ibu Hani.

Aku dan Tony setuju. Tapi masih akan kita diskusikan lebih jauh lagi dengan Obaja, Ketua Cabang, yang berdomisili di Jepara. “Yang paling penting kalian solid. Kalau pengurus sedikit itu tidak masalah. Yang penting kalian sering bertemu agar tercipta kemistri diantara kalian,” kata Tony memberi advis.

Dan ternyata mereka memang jarang bertemu muka. Seringnya berkoordinasi hanya lewat dunia maya. “Saya aja baru kali ini bertemu dengan Richard,” ujar Tika dengan tersenyum.

 

Wisata Kuliner

 

Sore hari, selepas hujan mulai reda, diskusi bubar. Banyak hal yang kami diskusikan. Dan yang terpenting, kita berusaha saling mengenal dan akrab antara Pengurus Pusat dengan Cabang. Kesempatan seperti ini sungguh langka. Semua ini karena kita pasien cuci darah, yang mempunyai keterbatasan fisik. Banyak diantara teman-teman kita justru membatasi aktivitas. Aku, Tony, Pak Lutfi, dan Donny masih bekerja. Sungguh beruntung bisa mempunyai kesempatan mengunjungi cabang.

Kemudian, pengurus memilih mengantar Bunda Ely ke rumahnya, di daerah Pojok Benteng Wetan. Sekaligus bersilahturahmi ke suaminya, Pak Rahmat Gumira, seorang Pilot Senior Garuda Indonesia. Kebetulan dia sedang tidak ada jadwal terbang. Sebagai pendamping Bunda,Ely, beliau sangat mendukung KPCDI.

“Kalian kepingin makan apa? Mau yang unik dan nyleneh? Ini ada tempat yang enak untuk nikmati, makanan bakmi jawa godok. Wedang jahenya mantap. Tapi ya itu harus telpon dulu. Kalau tidak, walau bangkunya kosong tetap tidak dilayani. Dia bilang sudah habis, walau sebenarnya masih ada,” ujar pak Rahmat.

Pak Rahmat langsung telepon untuk memesan tempat. Kami pun mendapat jadwal pukul delapan malam. Maka berangkatlah kami berlima. Sampai di sana harus jam delapan, sesuai dengan pesanan. Jalan yang kita lalui adalah jalan Parang Teritis. Entah kilometer berapa, kemudian belok ke kanan menyusuri toko-toko yang menjajakan kerajinan dari kulit. Setelah melalui jalan yang kecil dan gelap, kita menemukan kuburan di sisi kanan dan kiri. “Serem banget. Sudah gelap, sepi lagi. Apakah kita tersesat. Mana mungkin ada warung bakmi se-terpencil ini,” ucap pak Lutfi sambil tetap mengendalikan mobil.

Dan ternyata, pikiran pak Lutfi salah. Keluar dari areal pemakaman, sekitar 100 meter ketemulah warung itu. Kami bertiga tertegun. Areal parkirnya penuh dengan mobil. Padahal warungnya sederhana. Tidak ada disain interior yang khusus. Hanya bangku dan meja,sederhana ditata. Tulisan Bakmi PakTris hanya pada plang yang kecil.

Ketika mie godoknya masuk ke mulut, dasyat rasanya. Apalagi menyeruput kuahnya, terasa nikmat sekali. Ku ulang terus menerus untuk menyeruputnya, membuat semakin kecanduan. Aku sudah tidak perduli dengan kenaikan cairan di tubuhku. Apalagi dikombinasi sesekali meminum teh jahe, membuat badan panas, dan keringat keluar dari sekujur tubuh. Masuk angin pasti bablas setelah menyantapnya. Dan herannya, kuah dan bakminya awet panasnya. Mungkin karena dimasak dengan arang.

Tidak percuma jauh-jauh datang ke sana. Selain sajian makanan dan minum yang nikmat, obrolan kita pun hangat. Seperti saudara baru. Memang di komunitas ini, aku menemukan saudara-saudara yang baru .

 

Seminar Awam

Kalsium dan fosfor dalam tubuh harus seimbang. Pada pasien gagal ginjal, fosfor akan meningkat, karena ginjal sudah tidak bisa mengatur keseimbangan fosfor dalam tubuh. Jika fosfor dalam tubuh terus meningkat, maka tubuh merespon dengan meningkatnya hormon PTH (Parathyroid Hormone).

Bila terjadi peningkatan fosfor terus menerus, maka PTH akan mengambil kalsium dari dalam tulang. Hal ini akan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos (osteoporosis). Inilah yang disebut, gangguan mineral dan tulang pada pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau yang sering disebut Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD).

Kalimat di atas adalah pendapat yang disampaikan oleh dr. R Heru Prasanto SpPD-KGH, dan merupakan substansi seminar hari ini, Minggu 12 November 2017, dengan mengambil tema “Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Cuci Darah Dengan Pencegahan Gangguan Tulang”, bertepatan dengan perayaan Hari Kesehatan Nasional ke-53. Seminar ini mengandeng kerjasama dengan FMC (Fresenius Medical Care). FMC adalah sebuah perusahaan global berpusat di Jerman yang bergerak dibidang renal.

Bila ditafsir yang datang lebih dari orang 150 orang. Tidak saja datang dari Yogyakarta, tapi berbagai kota di Jawa Tengah. Seperti Farel datang bersama ayah dan ibu, beserta adiknya dari Salatiga. Atau Atok, ia datang bersama calon istrinya, Catur Wijayanti. “Nanti Desember datang ya teman teman pada acara pernikahanku. Sengaja hari minggu biar, kalian datang,” bujuk Catur perempuan berkaca mata ini.

Atok adalah pasien cuci darah, sementara Catur Wijayanti adalah perempuan sehat yang menjadi pacar setianya. Mereka bertemu dan berpacaran setelah Atok cuci darah. Mereka juga pernah meminta Pengurus Pusat melakukan advokasi karena ada rumah sakit yang meliburkan HD saat hari libur Nasional ,dan tidak ada jadwal pengganti. Saat itu Pengurus Pusat mengirimkan surat protes ke rumah sakit setempat dengan tembusan BPJS, Dinas Kesehatan dan Kementerian Kesehatan. “Alhanddulilah, sekarang mereka tidak berani melakukannya. Terima kasih KPCDI,” ucapnya.

Aku sempat juga berdiskusi dengan Alip. Dia datang bersama istrinya. Keduanya adalah pasien gagal ginjal. Bertemu dengan Alip kira-kira setahun yang lalu saat aku traveling HD di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah 2.

Selepas seminar, kami melakukan rapat evaluasi dengan Tika, Hani dan Richard. Selain melakukan rapat evaluasi pelaksanaan seminar, juga membahas kepengurusan Cabang DIY. Forum memutuskan Hani Raharjo menjadi Ketua, Tika menjabat sekretaris, dan bendahara dipercayakan kepada Richard. Maka terbentuklah Cabang baru DIY.

Sebuah perjalanan yang melelahkan, sekaligus menyenangkan. Sudah menjadi tugas pengurus pusat untuk membentuk cabang diberbagai daerah. Harus mampu mengalokasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk turun ke bawah. Semoga banyak cabang yang akan mampu dikunjungi dan disentuh oleh Pengurus Pusat.

 

Penulis: Petrus Hariyanto (Sekjen KPCDI)

Leave a Reply