KPCDI Family Gathering

Minggu pagi itu, kami sudah berkumpul di halaman parkir Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tempat itu kami jadikan starting point keberangkatan menuju Lembang, Bandung.

Hari ini (15/5/2016), KPCDI kembali mengelar Kopdar (Kopi darat). Ini adalah kopdar yang kesekian kalinya.

Tepat pukul 06.00 WIB, rombongan KPCDI dengan bus berkapasitas 31 orang itu meluncur ke arah kota Bandung.

Selama perjalanan, kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Dalam bus yang nyaman itu kami saling memperkenalkan diri.

Seperti Wawan, yang baru kali ini ikut. Bahkan dia menyatakan ikut dalam detik-detik akhir. “Saya menemukan KPCDI di google. Langsung saya menemukan nomor Helsa dan menyatakan ikut Kopdar,” ujar anak muda yang bekerja di sektor pertambangan batu bara ini.

Sementara itu, Pak Supratman, yang sudah lama bergabung di KPCDI bersaksi kenapa dia harus menjadi pasien cuci darah. “Penyebabnya karena saya menderita asam urat. Setiap kali kambuh asam urat, saya langsung meminum obat penahan dan penghilang rasa sakit,” ungkapnya.

Pengemar masakan padang ini memang dikenal doyan makan. Apalagi menu rendang, nafsu makannya bisa meningkat. “Selama proses cuci darah saya bisa makan nasi padang sebanyak dua kali,” ucapnya lagi.

Soal hobi makan, tentu tak ada yang mengalahkan Pak Hasan. Di akun facebook-nya penuh foto – foto kuliner dirinya. “Selain karena makan tidak teratur dan berlebih, saya juga terkena hipertensi. Sepertinya keturunan, karena kakak saya juga cuci darah dan sudah almarhum,” ujar Pak Hasan dengan lirih.

Wajah Pak Hasan kali ini agak lesu. Katanya agak sesak. Sudah dua minggu belum HD. Yang membuat kagum teman – teman adalah semangat dan hasrat Pak Hasan yang begitu tinggi untuk ikut Kopdar KPCDI.

Dia berangkat dari Ketapang (Kalimantan Barat). Dia kali ini membawa istri dan buah hatinya yang cantik.

Tak terasa bus yang membawa kami mendekati Pasteur. Bergegas Bayu, sang wakil Ketua Panitia maju mendekati sopir. “Kita nanti keluar Pasteur dan menuju Hotel Aston. Nanti ada yang memandu menuju Lembang.

Benar juga, setelah keluar dari tol, tampak mobil avanza merah memandu kami. Di mobil itu ada si Ketua Panitia, yakni Ratih.

Ratih lah yang paling bekerja keras mewujudkan acara ini. Idenya, acara Kopdar dilakukan di Dulang Resort & Resto, Lembang -Bandung.

Untuk menuju tempat yang katanya seperti “surga” itu tidaklah mudah. Selain jalan ke Lembangnya macet, jalan menuju ke resortnya sangat berbahaya.

Agaknya, sang sopir sudah memegang jam terbang tinggi mengemudi. Jalan sempit, berliku, curam dan menanjak berhasil dilalui.

Sesampai di tujuan, kami semua menghembuskan nafas lega. Sebelumnya, kami sport jantung.

Yang sangat mengairahkan, sesampai di resort yang ternyata bergaya joglo jawa tengah ini, kami langsung disuguhi es teh manis.

Bagi kami, sebuah hidangan terlezat di dunia. Setelah teriak-teriak berkaroke ria di bus, tenggorokan kami begitu kering dan haus.

Makyus…..mungkin itu bayangan yang ada di benak Pak Amir. Penggemar berat es teh ini menjadi “mata gelap”. Untung istri-nya yang cantik itu selalu menempelnya dengan ketat. Tentu saja agar Pak Amir tidak melahap minuman dingin itu terlalu banyak. “Cuci darah kamu masih Rabu. Nanti kamu sesak,” ujar Bu Amir dengan galaknya kepada sang suami.

Sebelum acara formal mulai, kita berkesempatan menikmati kue sus yang begitu lezat. Kami semua duduk berjejer dengan suguhan hamparan pemandangan hijau nan menawan.

Selain pemandangan yang menawan, udara yang sejuk juga mengundang kita untuk rehat sejenak. Tak terkecuali Fidya dengan mengandeng mesra pacarnya segera mencari lokasi yang “strategis”. Wajah mereka begitu bahagia. Saling berselfie, dan saling melempar senyum bahagia.

Merajut Kebersamaam

Tepat pukul 11.00 kami memulai acara, terlambat satu jam dari jadwal semula. Acara dibuka oleh sang Ketua Panitia. Ratih, mengucapkan terima kasih atas kedatangan kita di Bumi Bandung. Raut mukanya begitu bahagia karena cita-citanya agar kopdar di Bandung bisa terselenggara.

Sebelum acara ceramah, para medis yaitu dr. Niko, dr Dewi dan kakaknya Neneng didaulat untuk bersaksi. “Saya sehat-sehat saja. Saya tidak mengalami rasa kecapean. Hidup saya berjalan normal,” ujar Neneng.

Neneng ginjalnya tinggal satu. Satu setengah tahun lalu ia mendonorkan satu ginjalnya ke adiknya. Adiknya bernama Dewi, seorang dokter umum.

Kesaksiannya membuat kita terharu. Wajah Neneng bagi kami begitu sehat dan ceria. Dia bersaksi juga dengan wajah bergairah dan bersemangat.

Menurut Ratih, mereka berdua bahu membahu bersamanya membesarkan KPCDI di Bandung. Ketika aku mendengar kesaksiannya, langsung muncul di kepalaku agar hari ini bisa mewawancarai mereka berdua. Aku akan menulis kisahnya.

Yang juga spesial, kopdar kali ini akan diisi ceramah Dr. Niko Azhari Hidayat. Dr Niko adalah ahli bedah vaskular. Dia tinggal di Surabaya.

kopdar_2

“‘Beliau seorang yang hebat. Begitu aku hubungi dia bersedia menyumbangkan kepandaiannya kepada kita. Dia langsung terbang dari Surabaya menuju ke Bandung,” ujar Ratih ketika kutanya rahasianya mendatangkan Dr Niko.

Aku sendiri mengetahui dirinya dari mbak Ary dan Bude. Keduanya pengurus HGM Yogyakarta. Ary yang kalau HD bertahun – tahun dengan cara femoral, karena tidak bisa membuat cimino. Melalui tangan Dr. Niko ia kini punya AV Shunt.

Benar juga ceramahnya tentang cimino. Yang paling menarik session di mana masing-masing dari kami di USG AV Shunt-nya. Dr. Niko membawa langsung alat USG pembuluh darah itu.

“Wah, ini terjadi selingkuh aliran pembuluh darahnya. Sudah benar ibu memakai deker di sini agar nanti tidak terjadi pembesaran,” ujar Dr Niko kepada Bu ELy.

Bu Ely menjadi tersenyum.”Ternyata cimino bisa selingkuh ya,” tanyanya.

Bahkan ada yang beranak, atau terjadi aliran baru. Dan itu yang terjadi di Amalina. Untuk Pak Amir, Dr Niko menyarankan agar dititik yang ditandai, sebaiknya suster menusuk di daerah itu.

Aku sendiri juga di USG. Kalau RSCM sudah menvonis saya akan gagal kalau dibuat AV Shunt, tapi dokter yang disebut cewek-cewek sebagai dokter ganteng dan imut itu menyatakan masih bisa dibuat di tangan kanan saya.

Sebuah Pengharapan.

Walau kami datang untuk bergembira dan bersenang-senang, tapi kita juga tidak melewatkan untuk melakukan konsolidasi organisasi. Kami mengalokasikan waktu satu jam untuk berdiskusi dengan serius.

“Sebaiknya KPCDI segera mengurus legalisasi sebagai organisasi yang berbadan hukum. Sesegera mungkin membentuk pengurus definitif, agar bisa segera menjadi komunitas yang besar,” ujar Pak Supratman dengan lantang.

Pak Hasan juga menambahkan kalau sudah berdiri sebagai lembaga yang berbadan hukum akan lebih mudah bekerjasama dengan PEMDA. “Akan aku pasang plang nama KPCDI di Ketapang,” ujarnya.

Diskusi begitu serius. Teman-teman memang sangat berkeinginan agar KPCDI menjadi besar. Ada yang mengusulkan agar membuat buletin atau newsletter walau itu hanya selembar. Agar pasien cuci darah yang tidak akrab dengan medsos bisa dijangkau.

“Aku usul agar membuat kesaksian Neneng. Kita buatkan film dokumenter sederhana. Kita pasang di web KPCDI. Kita harus berkampanye kalau menjadi donor ginjal itu baik-baik saja,” ujar Daniel.

Pukul lima sore kami harus pulang ke Jakarta. Kami sempat menikmati dinginnya air kolam renang. Kami juga berkesempatan menjajal empuknya kasur untuk sekedar melepas lelah.

Entah berat badan kami naik berapa kilo, karena kami tergoda untuk minum terus. Apalagi di sore hari tersedia minuman bandrek. Pas dengan udara yang sudah mulai dingin.

Untung kami punya figur seperti ibu Ely. Beliau tak jemu-jemu menasehati kami semua. Ibu ely secara usia paling senior dan secara kepribadian dia yang paling dewasa diantara kita. Kita tidak mungin marah kalau ditegur dia. Kalimatnya yang lembut dan senyumnya yang manis membuat kita pasrah saja dan menurut bila dia sudah menasehati.

Dan bus itu sampai di Jakarta pukul 12 malam. Walau macet kami tetap bahagia karena di dalam bus kami berkaroke ria dengan genre musik dangdut batak.

Semoga kopdar kali ini semakin meningkatkan rasa persaudaraaan dan solidaritas kita.

Jakarta, 15 mei 2016

KPCDI

Leave a Reply