Bakti Seorang Anak

Tubuhnya kecil, anaknya pendiam. Kalau diajak bicara selalu menundukkan kepalanya, tak berani menatap lawan bicaranya. Umurnya masih belia, baru duduk di SMP Kelas 1.

Seharusnya, hari-harinya dihabiskan bersekolah, belajar, bermain dan bergembira bersama dengan teman-teman seusianya. Tetapi, laki-laki yang masih terbilang bocah ini, kesehariannya harus berinteraksi dengan pasien cuci darah, dokter, suster, yang usianya jauh di atasnya. Ia sudah terbiasa dengan situasi cara kerja mesin hemodialisa, jarum suntik, darah, pasien drop, bahkan kematian teman ayahnya, yang rata-rata menyandang gagal ginjal.

Kami memanggilnya Ariel. Anak ini lebih dewasa dari usianya. “Saya mengandalkan Ariel untuk menemani saya cuci darah. Dia anak saya terkecil dari empat bersaudara. Ia sudah ditinggal mati ibunya empat tahun yang lalu,” ujar Pak Ervan kepadaku suatu hari.

Kita bisa menemui dia setiap hari Senin, Rabu, Sabtu, di Rumah Sakit Siloam Asri, Duren Tiga. Hari itu adalah jadwal Ayahnya cuci darah. Ayahnya harus cuci darah tiga kali seminggu karena fungsi jantungnya sudah lemah dan tekanan darah yang cenderung rendah. Hampir dipastikan, diakhir proses hemodialisa, selang oksigen menempel dihidungnya.

“Kasihan Ariel pak Hari. Hari ini bolos lagi. Aku belum bisa mengantar dia masuk sekolah siang ini di SMPN 102 Cijantung. Karena aku drop, paling cepat pukul 1 siang nanti baru berani mengendarai motor. Sampai di sana sudah terlambat, dan dia harus mendampingi aku pulang ke Cibubur,” ujar pria berbobot 85 kg ini.

Sungguh mulia pengabdian Ariel kepada Ayahnya. Sang ayah kondisinya sering drop, ditambah beberapa bulan yang lalu terjatuh dari motor. Ia menabrak trotoar, mengakibatkan tulang telapak kaki kanannya patah. Itulah yang membuat ia harus didampingi. Katanya, hanya Ariel dari empat bersaudara yang setiap saat bisa menemani Pak Ervan cuci darah, berobat ke rumah sakit, sampai dengan harus rawat inap.

Pagi hari, sekitar Pukul setengah lima pagi, mereka berdua sudah meluncur dari Cibubur menuju Rumah Sakit Siloam Asri. Adalah Motor, menjadi alat transportasi utama mereka. Ketika ku tanya kenapa tidak memakai Ambulance DKI, pria yang sudah hemodialisa 4 tahun lebih ini mengatakan tidak bisa. “Tempat tinggal saya di luar DKI. Ambulance hanya mau mengantar di wilayah DKI saja,” ujarnya dengan sendu.

Ketika sampai diparkiran motor RS Siloam Asri, Ariel segera berlari mencari kursi roda. Dia yang memegangi tangan ayahnya agar dapat turun dari motor dan duduk di kursi roda. Kalau tidak ada satpam, anak kecil ini yang mendorong Pak Ervan menuju ruang cuci darah di lantai dua.

Sesudah ayahnya memulai cuci darah, anak ini bergegas mencari makanan, keluar dari komplek rumah sakit. “Kenapa kok selalu beli bubur? Tidak pernah masak ya? Lebih sehat kan masakan sendiri,” tanya Bayu kepada Ariel.

Jawaban Ariel sangat menyentuh hati Bayu, yang sedang cuci darah di samping ayahnya. “Bubur makanan kesukaanku. Di rumah kami tidak pernah masak. Kami sudah tidak punya Ibu. Di rumah hanya ada Ayah, saya, dan kakak saya perempuan yang masih kelas 3 SMP. Dua kakak saya yang sudah besar tinggal di rumah nenek,” ujarnya.

Ariel lalu melayani ayahnya makan. Wajib bagi pasien cuci darah untuk makan saat proses hemodialisa. Justru berbahaya bila tidak makan. Dan ketika ayahnya malas makan, bocah yang berambut pendek ini sebisanya membujuk ayahnya. Ketika dia makan, semua penghuni ruang hemodialisa itu akan ditawari makan. “Saat dia makan itulah saya mendengar suaranya. Anak yang sangat pendiam tapi ramah sekali,” ujar Suster Bintang.

Bila proses cuci darah selesai, Ariel sudah siap siaga di samping ayahnya. Bila pak Ervan segar bugar, dia akan melayani ayahnya makan. Dan itu pertanda baik, karena cepat pulang, dan dia bisa masuk sekolah siang. Tapi, jika ayahnya drop, ia akan lebih lama lagi pulang, dan seringnya bolos sekolah. Ia akan berada di dekat ayahnya yang sedang tidak berdaya. “Saat seperti ini membuat aku tidak kuatir bila Ariel ada di sampingku,” ucapnya.

Pernah aku melihat dia drop, kakinya bengkak besar karena infeksi. Pen yang terpasang di kakinya menjulur keluar menembus dagingnya. Infeksi itu membuat tubuhnya demam tinggi dan kondisinya semakin menurun. Ariel lah yang setia menemaninya. Dibantu beberapa suster, pak Ervan baru bisa berpindah ke kursi roda. Ariel dengan cekatan mendorong ayahnya yang duduk di kursi roda menuju tempat parkir. Ayahnya ditempatkan di ruang lobbi rumah sakit, lalu ia mengambil motor. Setelah dekat ruang lobbi, kembali ia membawa pak Ervan agar dekat motor. Kemudian dia memanggil Satpam untuk menuntun pria berbobot 85 kg duduk di motor.

Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, pak Ervan mengendarai motor. Biar irit katanya, karena naik taksi bisa menguras dompetnya sampai Rp 250 ribu. Akibatnya, suatu hari ketika perjalanan pulang dari cuci darah, ia pingsan di jalan. Ariel lah yang lalu berteriak meminta tolong setiap orang yang lewat di jalan itu. Dan selamatlah nyawa sang ayah.

Ayahnya Berpulang

Minggu 10 Desember ini, pak Amir dan Bu Wati menengok Ariel yang baru saja kehilangan ayahnya. Bu Wati dan Pak Amir sudah bersahabat dengan pak Ervan selama empat tahun ini. Mereka sama-sama pasien gagal ginjal kronik.

“Lama aku di sana tak jumpa dengan Ariel. Kata kakak perempuannya, ia sedang main bola. Senang rasanya melihat Ariel sudah ceria kembali,” ucap mantan pesenam aerobik ini.

Dari kakak perempuan Ariel ini, Bu Wati mengetahui detik-detik sebelum Pak Ervan menghembuskan nafas untuk selamanya. Kata kakak Ariel, Pak Ervan pada hari Rabu cuci darah tapi tidak sampai satu jam, karena CDL-nya macet. Hari Kamisnya, ia sempat ke RSUD Budhi Asih untuk periksa persiapan operasi kakinya yang terinfeksi. Sejak pagi sudah tidak mau makan.

Kondisinya semakin menurun. Siang hari sudah muntah-muntah. Ketika malam saat Ariel pulang sekolah, pak Ervan semakin melemah. “Maaf aku merepotkan kalian yang masih kecil-kecil. Jaga adikmu Ariel ya. Dia anak yang baik dan sholeh,” ujar Pak Ervan kepada anak perempuannya.

Kata Bu Wati, saat Pak Ervan mengatakan hal itu matanya sudah tidak fokus. Tingkat kesadarannya sangat turun sekali. Tubuhnya sudah tidak berdaya. Kepalanya menyandar di dada anak perempuannya sambil dipeluk. Ariel seorang Indingo, merasa punya firasat, kemudian ia memutar suara orang membaca ayat-ayat Alquran lewat Video di YouTube. Saat-saat sakratul maut menjemput ayahnya. Ketika sang ayah tidak bergerak lagi, tangis Ariel pecah. Ia meraung-raung, menangis sejadi-jadinya. Saat itu juga ia menjadi anak yatim piatu.

Saat Bu Wati bercerita, tak terasa air mataku menetes. Sudah empat tahun ini aku menjadi temannya. Hampir dua kali seminggu bertemu dengannya di tempat hemodialisa. Selamat jalan sobat. Dan terima kasih buat Ariel sudah menjadi teladan bagi kami semua. Kita yang sedang berjuang hidup karena menjadi pasien gagal ginjal, butuh pendamping, seperti figur dirimu. Seperti Ariel yang mencintai ayahnya dengan sepenuh hati.

*Ciganjur yang dingin, dengan hujan dan mendung seharian

Oleh Peter Hari (SEKJEN KPCDI)

Leave a Reply