Pejuang Dialisis Dari Tanah Ketapang

Apa yang ada dalam benak Anda, bila seorang pasien cuci darah harus menempuh perjalanan sejauh 200 km agar dapat melakukan dialisis? Itu baru jarak tempuh dari rumah menuju rumah sakit. Dan pulangnya harus melalui jalan yang sama. Total 400 km yang harus dia arungi untuk tetap bisa bertahan hidup. Anda bayangkan penderitaan yang akan dialami si pasien bila mengalami drop sehabis cuci darah. Seringkali, mereka terpaksa menginap di Masjid atau tempat seadanya setelah Hemodialisis (HD) karena tidak kuat menempuh perjalanan pulang. Keesokan harinya, mereka baru berani memutuskan pulang ke rumah.

Ya Tuhan, itu benar-benar terjadi. Saudara-saudara kita yang kurang beruntung ini berdomisili di daerah terpencil di Kalimantan Barat. Mereka melakukan dialisis di Kota Ketapang karena di daerahnya belum ada unit HD.

Kenyataan ini menggugah hati nurani Hasan Basri untuk turut memecahkan persoalan ini. “Saya sedang berencana membangun rumah singgah untuk mereka. Sekaligus menjadi Kantor Cabang KPCDI di Ketapang,” ucapnya kepadaku.

Sungguh mulia niat Pak Hasan. Bila itu terealisir, akan banyak pasien cuci darah memanfaatkannya untuk tempat bermalam dan beristirahat setelah selesai HD.

Pak Hasan sendiri adalah pasien cuci darah. Pria berdarah Melayu itu mulai cuci darah sejak April 2016. Dia adalah pegawai Pemda Kabupaten Ketapang. “Saya menjabat sebagai Kasubag Keuangan. Walau saya mempunyai 14 anak buah, tetapi tetap harus menjalankan aktivitas harian,” ungkapnya.

Setiap hari Bapak dengan tiga anak ini bekerja secara normal seperti karyawan lainnya. Bahkan bila jadwal laporan bulanan, semesteran, tahunan telah tiba, dia harus ngelembur sampai malam hari. “Kalau BPK melakukan pemeriksaan keuangan, saya harus lembur sampai dini hari,” ungkapnya lagi.

Pria dengan berat badan sembilan puluh kilo ini menolak mengajukan dispensasi. Ia ingin menunjukan walau dia cuci darah, tetapi masih mampu menjalankan aktivitas dengan normal. “Banyak teman-temanku sering terkaget-kaget kalau ternyata saya sudah cuci darah. Masyarakat Ketapang memandang kalau sudah cuci darah sebentar lagi akan ‘lewat’, ” tuturnya.

Seperti saat ini, Pak Hasan berada di Jakarta. Dia mendamping Sekda Kabupaten Ketapang memenuhi panggilan Mendagri. Atau hari yang lain mendampingi Bupati karena dipanggil Menteri Keuangan. “Dalam satu bulan saya rata-rata tiga kali terbang ke Jakarta,” ucapnya dengan kalem.

Pria yang penuh semangat ini ternyata jam kerjanya dimulai pukul lima pagi. “Pagi-pagi saya sudah mengkoordinir karyawan saya. Mengecek keperluan mereka. Saya juga mempunyai usaha kontrakan. Lumayan banyak lah. Apabila nanti aku sudah tidak menjadi pegawai negeri, usaha itu mampu menghidupi keluargaku,” ucapnya kali ini dengan penuh semangat.

Pak Hasan sudah terlatih sejak mudanya. Sewaktu dia kuliah menyelesaikan studi Diploma dan kemudian jenjang Sarjana, dia berjualan tiket pesawat terbang. “Seminggu sekali saya pulang dari Yogyakarta ke Ketapang. Saya selalu membawa Batik. Saya jual di kampung dan lumayan labanya,” ucapnya kini dengan tertawa lepas mengenang perjuangannya di massa muda.

Bahkan keterusan sampai menjadi pegawai negeri. Bila ada tugas ke Jakarta pulangnya membawa pakaian dari Pasar Tanah Abang. “Sekali ke Jakarta, kami berempat. Tiga teman saya pulang tidak membawa apa-apa sehingga bagasinya saya manfaatkan,” ucapnya penuh gelak tawa.

Sayang, jarum jam menunjukan Pukul delapan malam. Sebelum dia diusir Satpam RSCM karena jam bezuk sudah selesai, Pak Hasan berpamitan. Setelah dia pergi aku termenung. Sungguh pria itu energik. Semangatnya luar biasa. Gagal ginjal tidak membuat berdiam diri dan termenung. Masih banyak cara untuk mengisi kehidupan dan dapat berguna bagi orang lain. (Jakarta, 18 November 2016).

* Sebuah pagi, masih di satu sudut kamar Gedung A di RSCM

Oleh: Petrus Hariyanto (Sekretaris Jenderal KPCDI)

Leave a Reply