Kisah Jiwa-Jiwa Yang Tergantung Dari Mesin (3)

Oleh: Petrus Harjanto*

Bisa dibilang tubuhnya gemuk. Lemak menumpuk di perut, terlihat jelas ketika memakai kemeja kesempitan. Kulitnya hitam cerah. Tidak terlihat tanda warna putih nan pucat.

Dari penampakan  fisiknya aku menduga dia bukan pasien. Apalagi memakai sepatu pantofel. Mungkin dia pulang dari kantor dan mengantar saudaranya cuci darah. Atau juga sekedar membezuk seseorang.

Sedari tadi, dia lincah kesana-kemari. Satu persatu orang yang ada dalam ruang tunggu itu disalami dan diajaknya  bicara. Pasti orang ini memiliki kebugaran tubuh yang lumayan. Kontras bila dibandingkan dengan pasien cuci darah yang ada di ruang tunggu itu. Hampir semuanya  duduk, tidak terlalu banyak mondar-mandir. Bahkan diantaranya  tampak kepayahan, diam duduk di kursi roda.

Tapi, seketika kesimpulanku runtuh. Di lengannya terlihat tonjolan. Itu adalah pembuluh darah yang membesar. Pasti ciminonya sudah lama dipakai untuk cuci darah.

“Berapa tahun dia sudah menjalaninya?,” gumamku.

“Baru operasi cimino ya pak,” tanya orang berbadan gemuk itu kepadaku.

Rupanya dia melihat aku sedang menggenggam bola tenis. Memang dari tadi tangan kiriku meremas bola tenis yang kupotong setengah. Dengan cara itu aku melancarkan pembulu darah di tangan. Kulakukan agar ciminoku membesar.

“Ya Pak, baru seminggu aku operasi cimino. Ini yang kedua. Yang pertama gagal. Tidak terbentuk desiran,” jawabku kepadanya.

Cimino adalah akses tetap bagiku melakukan hemodialisa (HD). Ciminoku  dibuat di pergelangan tangan dengan menghubungkan arteri radialis dengan vena sefalika. Prosesnya melalui operasi, dilakukan oleh ahli bedah vaskular. Dengan meremas bola tenis diharapkan ciminoku akan terbentuk.  Vena  akan melebar 3 sampai 4 kali lipat dan volume darah yang mengalirinya semakin besar.

Karena penasaran, aku ingin mengetahui seperti apa kalau sudah terbentuk cimino. “Pak, ciminonya besar ya? Boleh saya raba?,” tanyaku kepadanya.

Bapak itu menyodorkan lengannya.

“Coba tempelkan tangan bapak di sini. Seperti aliran listrik kan?,” ujarnya.

Aku merasa geli memegangnya. Aliran darahnya deras, seperti ada aliran listrik. Lengannya penuh tonjolan, pembuluh darahnya membesar. Terlihat bekas tusukan jarum sekitar daerah itu.

“Bapak HD pakai apa kalau ciminonya belum jadi?,” tanya dia lagi.

“Masih ditusuk di paha pak. Saya juga belum pasang double lumen,” jawabku.

Bapak yang belum memperkenalkan namanya ini menasehati kalau cuci darah dengan cara ditusuk di paha sangat berbahaya.

Aku empat bulan ditusuk di paha. Kalau tidak pas nusuknya bisa bengkak pembuluh darahnya. Suatu hari aku pernah ditusuk sampai lima kali dan meleset terus. Hari itu aku gagal cuci darah. Buat jalan juga sakit sekali,” ujarnya.

Aku sendiri membenarkan pendapat bapak itu. Setiap kali ditusuk di paha ngeri rasanya. Untuk mengatasi rasa sakit, aku memakai semprotan seperti yang dipakai pemain bola bila cidera.

Belum sempat menanyakan namanya, bapak itu dipanggil suster untuk segera masuk kamar HD. Dia datang lebih awal dari aku. Kalau ada ruangan kosong akan dipanggil untuk cuci darah, sesuai nomor urut.

Hari ini adalah hari pertamaku cuci darah di hari Rabu. Sebelumnya, jadwal cuci darahku hari Senin dan Kamis. Aku meminta tukar hari, menjadi  Rabu dan Sabtu. Aku berencana mulai masuk kantor lagi setelah tiga bulan penuh cuti.

Aku bekerja menjadi staf anggota DPR. Nama anggota dewan itu adalah Ribka Tjiptaning, dari Fraksi PDI Perjuangan. Ribka adalah Ketua Komisi IX yang membidangi Kesehatan. Aku tidak mendapat hambatan ketika harus cuti selama itu. Ribka Tjiptaning sangat memahami kesulitan yang sedang aku alami.

Aku ingin membantu dia terpilih lagi menjadi anggota DPR. Pelaksanaan kampanye calon anggota legislatif sudah di mulai 11 Januari 2014 yang lalu. Semua temanku yang menjadi stafnya Ribka sedang fokus bekerja di Dapil (Daerah Pemilihan). Dari Sukabumi mereka mengirim kabar kesibukan kampanye di Dapil.

Namanya Supratman

Kali ini aku datang lebih pagi. Tepat Pukul 09.00 WIB aku sampai di Klinik JKC (Jakarta Kindney Center). Dari daftar absen, aku mendapat no urut 3. Sayang tidak ada mesin kosong. Rupanya yang shift pagi datang semua. Berarti paling cepat Pukul 11.00 WIB aku baru masuk. Shift pagi dimulai Pukul 06.00 WIB.

Setelah menimbang berat badan, aku mencari tempat duduk yang di pojok. Aku bermaksud makan dulu. Ketika cuci darah, pasien harus mempunyai energi yang cukup. Perut tidak boleh kosong, bahkan saat cuci darah berlangsung dianjurkan makan. Saat cuci darah tenaga kita terkuras. Rasa lapar akan mendera.

Teringat saat cuci darah yang kedua. Yang pertama hanya dua jam, Yang kedua langsung dinaikan menjadi lima jam. Waktu itu, aku tidak tahu kalau saat cuci darah boleh makan. Sehabis cuci darah badanku lemas sekali, keluar keringat dingin, berjalan dengan semponyongan. Apalagi waktu itu sendirian, dan selesainya pukul sebelas malam.

Untung aku berhasil menghubungi dokter Mariya.

“Mas Petrus segera minum air manis, baru makan. Jangan pulang dahulu sebelum enakan,” ujarnya di telepon.

Sejak kejadian itu aku selalu membawa bekal makan, baik sebelum HD atau pas HD. Bahkan ketika HD, nafsu makan bisa meningkat.

“Siang pak, wah kemarin  kita belum berkenalan. Aku Supratman,” sapa bapak yang bertemu aku di hari Rabu kemarin.

“Saya Hariyanto,” balasku.

Kali ini Pak Supratman sudah selesai cuci darah. Ternyata kalau hari Sabtu dia mengambil shift pagi.

”Hari Rabu aku masuk kantor setengah hari. Bisanya HD siang. Kalau Sabtu aku ambil pagi,” jelasnya

Akhirnya, kami mengobrol. Lumayan untuk membunuh waktu. Pak Supratman ini ternyata berasal dari Bengkulu Utara. Sudah lama dia tinggal di Jakarta. Anaknya baru satu.

Aku penasaran, kenapa orang segagah ini cuci darah?

“Kok bisa sampai cuci darah? Gimana awalnya pak Supratman?,” tanyaku ke dia.

Pak Supratman memandangiku. Tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia menarik napas panjang. Sepertinya sedang mengumpulkan keberananiannya untuk bercerita. Raut mukanya terlihat resah bila harus mengingat masa lalunya itu.

“Ceritanya panjang pak Hari. Tapi, semua ini penyebabnya karena saya tidak mengetahui apa itu penyakit gagal ginjal kronik. Seandainya saya paham, mungkin sekarang tidak cuci darah,” sesalnya.

Walau kata demi kata berat keluar dari mulutnya, pak Supratman terus melanjutkan ceritanya. Pengakuannya, awalnya dia sakit asam urat. Bahkan sampai tidak bisa jalan. Dia meminum obat tanpa resep dokter karena bisa dibeli bebas. Dia meminumnya bertahun-tahun. Dia juga pernah diperiksa dokter kalau tekanan darahnya tinggi. Dokter tersebut menyarankan agar ginjalnya diperiksa. Kata dokter saat itu, tekanan darah tinggi dan asam urat itu ada kaitannya dengan ginjal yang  bermasalah.

“Pada waktu itu, saya tidak menjalankan permintaan dokter. Alah, cuma dokter klinik saja, kenapa harus dipercaya? Aku pikir itu tidak ada hubungannya dengan sakit ginjal. Sebenarnya juga, aku tidak tahu persis penyakit ginjal itu seperti apa, maka kusepelekan,” ujarnya sambil menunjukan rasa penyesalan.

Agustus 2010, ketika mengikuti kuis di sebuah televisi swasta, tulang punggung di dekat pinggang mengalami kesakitan. Pak Supratman dibawa ke RSUD Pasar Rebo. Dokter memintanya general check up, ternyata kreatininnya 7,8 dan ureumnya 140.

Dokter itu tidak mempercayai hasil laboratorium. Ia diminta cek ulang di laboratorium swasta dan USG ginjal. Hasilnya tetap sama. Bahkan USG memberi kesimpulan ginjalnya mengecil.

Kemudian, dokter meminta memeriksakan ginjalnya di RSCM. “Sakit di punggung kok malah ditemukan sakit ginjal,” ujarnya dengan penuh keheranan.

Di RSCM dia ditangani Dokter Bonar H. Marbun SpPD-KGH. Dokter Bonar tetap mengatakan Pak Supratman gagal ginjal. Salah satu jalan untuk mengatasinya lewat cuci darah.

“Seketika itu aku merasa dunia ini gelap. Aku ketakutan. Lututku lemas sekali. Aku tak kuat berdiri. Datang ke RSCM aku mampu mengendarai motor, tapi pulangnya aku tak sanggup lagi ,” tuturnya sambil bibirnya bergetar.

Pak Supratman menghentikan sementara ceritanya. Dia merenung. Dahinya berkerut. Dia berusaha keras mengingat-ingat kembali episode awal-awal menerima vonis kejam itu.

“Kamu jalani permintaan dokter Bonar,” tanyaku seketika  menghentikan lamunannya.

Dengan terbata-bata pak Supratman mengatakan kalau dirinya tidak mau menjalankan rekomendasi dokter Bonar. Dia beranggapan kalau sekali cuci darah akan terus menerus cuci darah. Pak Supratman sekuat tenaga berusaha menghindarinya. “Jalan satu-satunya ya melakukan pengobatan alternatif,” ujarnya.

Berbekal informasi dari kakak iparnya, pak Supratman berobat alternatif di Bogor. Seminggu dua kali, dengan biaya sekali datang sebesar RP 400.00 ribu. itu  hanya berjalan 4 bulan.

“Aku periksa  ke laboratoriun, hasilnya tambah parah. Aku jadi berhenti berobat di sana,” ujarnya.

Selepas Bogor, Pak Sutarman berobat alternatif di Bintaro. Pernah juga ke depok. Bahkan di Depok, dia mendatangi pengobatan alternatif  bedah gaib. “Aku dibedah, tetapi anestasinya hanya dengan diberi es batu. Kata tabib itu sama dengan mencangkok ginjal ,” ceritanya lagi.

Tiga hari, tiga malam tidak boleh mandi, kata Pak Sutarman. Perbannya juga tidak boleh dibuka karena bisa terjadi pendarahan. Ketika  dibuka, tidak ada tanda-tanda bekas luka.

“Sudah bayar Rp 8,5 juta, tapi sama saja, bertambah parah,” umpatnya.

Bapak satu anak ini tetap tidak mau menyerah. Pantang baginya cuci darah. Usaha yang dilakukanya adalah melakukan pengobatan medik tetapi dengan metode holistik.

Pada tahun 2011, dia mendatangi Rumah Sakit Holistik berada di Purwakarta. Bangunan rumah sakitnya di design seperti berada di rumah sendiri. Cara mendiagnosa seperti metode pengobatan modern, cuma pengobatannya menggunakan herbal. Ada terapi akupuntur dan pijat refleksi.

“Yang paling penting gaya hidup dan gaya makan kita dirubah total. Bila ginjal kita mampunyai sepuluh persen, ya makannya sebatas ginjal mampu sebesar itu. Diet ketat. Makanan dari bahan organik,” jelasnya.

Ternyata upaya pria asal Bengkulu Utara ini membuahkan hasil. Kratininya yang semula 13 turun menjadi 8.

Pria gemuk ini hanya berobat jalan. Sebulan sekali datang. Sekali datang dia harus gelontorkan uang sebesar Rp 2 juta.

Akhir April 2012, kedisiplinan pak Supratman mengendor.

“Anak dirawat di rumah sakit. Ketika aku menungguinya,  pola makananku berantakan. Kreatininku naik lagi. Bahkan aku harus dirawat di Rumah Sakit Holistik itu,” jelasnya lagi.

Sempat membaik. Tetapi memburuk lagi. Agustus 2012, selain dirawat dia harus cuci darah. “Aku cuci darah di sana dua kali. Keadaanku semakin memburuk karena tidak menjalankan pola hidup yang benar untuk penderita gagal ginjal stadium akhir,” katanya dengan lirih.

Jumlah uang  untuk berobat alternatif, menurutnya bila ditotal mampu untuk membeli satu buah mobil avanza.

Keinginan kuatnya untuk tidak cuci darah akhirnya kandas juga. Oktober 2012, dia memulai cuci darah di JKC dengan kreatinin yang tinggi sekali. Sudah sesak nafas, dan setiap hari muntah.

Tumbuhnya Kepercayaan Diri

Malam adalah saat menakutkan bagi pak Supratman. Ketika istri dan anaknya sudah tidur, dia lebih sering masih terjaga. Sejak divonis harus cuci darah, tidurnya jadi terganggu.

Vonis itu telah menciptakan “hantu” baginya. Bayangan ketakutan-ketakutan mulai sering muncul. Kecemasan-kecemasan sering menerpanya, apalagi di saat dia sedang tidak melakukan aktivitas.

“Bila aku memandangi anak ku saat tidur, aku menangis. Dia masih kecil, sebentar lagi akan kehilangan ayah. Bagaimana nasib istriku Livi Liana bila aku meninggal nantinya?,” ungkapnya dengan sedih.

Ayah dari anak bernama Candra ini juga menangis setiap membuka postingan teman-temannya di facebook. Apalagi teman-temannya bercerita tentang perjalanan wisata. Dia merasa, setelah cuci darah nanti tidak akan mampu pergi berlibur lagi bersama teman-temannya.

Gambaran suram itu benar-benar menguasai pikiran pak Supratman. Cuci darah baginya adalah kehancuran hidup.

Hanya dengan bekerja, pak Supratman bisa melupakan sejenak keterpurukannya. Dia sangat bersemangat ketika akan berangkat ke kantor. Akhirnya, bekerja menjadi tempat pelariannya.

Saat yang ditakutkannya akhirnya datang juga. Segala upayanya untuk menghindar dari cuci darah ternyata gagal. Ginjalnya yang sudah tidak berfungsi penuh, berakibat tubuhnya dipenuhi racun.

Seharian dia mengalami pusing-pusing dan muntah-muntah. Tidak bisa tidur karena sesak nafas. Untuk bangun dan bergerak dia agak kesusahan. Dia sudah tidak mampu menghindar lagi untuk tidak cuci darah.

Pak Supratman mulai melakukan cuci darah rutin di JKC, yang terletak di Mampan Prapatan. Awalnya, seminggu sekali.

Lambat laun, pria yang berkerja di salah satu perusahaan outomotif terkenal dalam Tunas Group ini, mulai berani mengajukan cuti satu hari untuk cuci darah. Setiap Rabu dia diperbolehkan bekerja hanya setengah hari.

Seperti orang kebanyakan, waktulah yang akan mampu memberi solusi terhadap persoalan hidup. Pria yang menikahi Livi Liana tahun 2005 ini, mulai mampu menata hidupnya.

Kesedihan dan ketakutanya berangsur berkurang. Teman-teman senasibnya telah memberi pelajaran penting kepadanya.

”Bapak yang sudah tua-tua dan berada di kursi roda saja mampu bertahan, kenapa saya tidak?,” ujarnya

Cuci darah tidak hanya membebaskan tubuhnya dari racun-racun, tetapi juga memberi pencerahan hati dan pikirannya. Kesehatannya semakin membaik. Seiring dengan itu, rasa optimis dalam memandang hidup mulai muncul. Ada semangat baru dalam menjalani kehidupan.

Bekerja sudah tidak lagi menjadi tempat pelarian. Istri dan anak, yang merupakan harta paling berharga di dunia, menjadi fokus perhatiannya.

“Aku harus mampu membahagiakan mereka. Kebahagian istri dan anak ku adalah kebahagian ku yang utama di dunia ini,” ucapnya.

Pekerjaannya mulai menampakan hasil nyata. Perlahan tapi pasti mulai mampu mengatasi kesulitan keuangan yang terpakai untuk membiayai pengobatan alternatif. Tabungannya mulai terisi. Bahkan sudah mampu membeli tanah, sekaligus mampu membangun rumah di pinggiran Jakarta, walau masih belum selesai sepenuhnya.

Selain itu, ia mulai berinvestasi. Dia tanamkan uangnya untuk mempunyai lahan karet seluas 3,5 hektar di Kampungnya.

Istri dan anak mulai merasakan hasil dari jerih payahnya. Di waktu libur, keluarganya sering diajak ke Mal, berlibur, bermain game. Dia menjadi ayah dan kepala rumah tangga seperti orang sehat lainnya.

Pengalaman hidup bersama pasien cuci darah lainnya, telah merubah hidupnya.

*Penulis adalah Sekretaris Jendaral Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)

Sumber: www.bergelora.com

Leave a Reply