Kehidupan Kedua Setelah Mati Suri

Oleh: Petrus Hariyanto*

Hari ini aku berangkat kesiangan. Kubaca kertas absen, ternyata aku mendapat nomor urut 18. Hanya ada 20 mesin cuci darah yang ready di lantai tiga Klinik Hemodialisa Jakarta Kidney Center (JKC). Itupun,  sering hanya 18 pasien yang datang. Kali ini aku akan menjadi orang yang terakhir mendapat giliran cuci darah.

Setelah menunggu hampir 40 menit, suster memanggil ku untuk segera masuk ruangan. Aku mendapat tempat di kamar nomor  1. Rasanya malas memasuki ruangan itu. Aku sudah membayangkan akan hening di ruang itu. Kamar itu hanya mampu menampung 3 pasien. Apalagi kalau sebelahku pasien sudah berumur, rata-rata mereka pendiam. Seringnya tertidur selama cuci darah. Aku pasti tidak punya teman ngobrol dan bercanda. Lima jam akan menjadi waktu yang lama dan menjemukan.

Tempatku di tengah. Di kiri seorang ibu-ibu yang belum kukenal. Dia sudah tertidur pulas. Mungkin cuci darahnya sudah berlangsung satu jam. Satunya seorang cowok yang masih muda. Tubuhnya gemuk berkacamata. Model rambutnya undercut. Rambut disisir dengan rapi tak lupa diberi jelly biar tak berantakan ketika tertiup angin. Gaya rambut anak muda masa kini. Badan dibalut kaos bermerk terkenal. Benar-benar seperti anak muda yang gaul.

“Mari makan pak,” ujarnya kepadaku.

“Silahkan bung,” jawabku

Pemuda itu melanjutkan makannya. Mungkin sama dengan ibu yang sudah tertidur, proses cuci darahnya sudah berlangsung satu jam. Biasanya, waktu sebegitu sudah membuat perut keroncongan. Makan adalah obatnya. Bukan sekedar menghilangkan lapar, makan berguna memenuhi energi dalam tubuh. Tubuh menjadi berstamina dan tidak mudah drop selama menjalani HD.

Untuk ku tak perlu waktu satu jam, baru beberapa menit aku sudah membuka kotak bekalku. Makannya sambil tiduran. Kotak nasi kuletakan di dada. Sungguh repot makan dengan cara begitu. Aku tak berani makan sambil duduk. Kalau duduk, aliran darah di chateter double lumen (CDL) ku akan terganggu.

Tidak seperti pasien yang aksesnya menggunakan cimino (v-shunt), mereka leluasa bisa duduk, bahkan berdiri, dan bergerak lumayan bebas. Bila aku bergerak, apalagi duduk, darahku yang   mengalir  ke mesin akan tersendat-sendat. Bahkan bisa berhenti mengalir. Resikonya, jika suster tidak segera memencet tombol mesin, darahku bisa membeku.

Teringat kejadian sebulan yang lalu. Darahku berhenti mengalir di mesin cuci darah. Walau mesin berbunyi, suster terlambat masuk ke kamar untuk memencet tombol. Akibatnya, mesin berhenti cukup lama.  Darahku terdiam di selang dan tabung dializer dalam waktu cukup lama.

”Pak Hari, darah bapak clotting. Kita ganti tabung dializer yang baru ya,”pinta suster bertubuh kurus itu dengan pelan dan ragu.

Aku terdiam. Aku hanya mengangguk menjawab perkataan suster itu. Dongkol rasanya. Mau marah tapi tidak mungkin kuucapkan ke suster itu. Betapun suster itu sangat berjasa kepadaku. Apalagi CDL ku turut berkontribusi kepada kejadian itu. Tetapi, betapapun itu jelas keteledorannya, karena tidak segera mendengar mesin berbunyi  pertanda ada masalah. Sebuah SOP (Standard Operasional Procedure) yang sudah harus dijalankan.

Darah itu, yang menempel di selang sepanjang kurang lebih dua meter,  ditambah yang ada di tabung dializer, harus dibuang ke ember besar berwarna merah. Itu darah yang diambil dari tubuhku. Mungkin kalau dihitung sebanyak hampir satu kantong darah.

Tentu saja akan memperparah HB ku. Sebagai pasien cuci darah, tubuhku sudah terganggu kemampuan memproduksi sel darah merah. Kami, rata-rata mempunyai HB dibawah normal. Kalau turun sampai 7 saja HBnya, kami harus tranfusi darah.

“Pak Hari, ini tabung dializer barunya. Kita mulai lagi dari awal cuci darahnya,” ujarnya lagi.

Tabung baru, berarti aku harus membayarnya. Jatah gratisnya setiap pemakaian ketujuh kalinya. Kalau belum sampai hari H sudah mengganti, berarti harus merelakan uang Rp 240 ribu melayang. Apalagi, seminggu lalu tabungnya juga rusak, kata suster darahku terlalu banyak kotoran lemak, susah dibersihkan.

Uang sih bisa dicari. Tapi, aku takut HBku turun, karena kehilangan darah  sebegitu banyak. Tekadku, transfusi darah sebisa mungkin dihindari. Takut tertular virus hepatis dan HIV. “Sekalian diambil darahnya ya Pak. Kita cek HB bapak. Takutnya turun drastis,” pinta suster itu kepadaku.

Sejak kejadian itu, aku trauma kalau mesin berbunyi. Sebelum HD (tindakan hemodialisa-cuci darah-red) aku selalu bertanya ke suster apakah heparinnya otomatis atau manual? Sudah diberikan atau belum? Heparin adalah obat pengencer darah, menghindar darah mengalami pembekuan di mesin cuci darah. Karena waktu itu suster lupa memberi heparin, ketika darah tidak berputar di mesin, berakibat darahku membeku.

Anak Muda Itu Koma

Kekuatiranku mulai terbukti. Dua pasien di sebelahku tak bersuara sedikitpun. Yang satu pulas dengan tidurnya. Yang muda asyik dengan ganget-nya. Mungkin sedang chatting dengan seseorang, karena terlihat mulutnya sesekali tersenyum.

Aku  berinisiatif memulai pembicaraan. “Aku Hariyanto,” sapaku untuk memulai pembicaraan.

“Saya Deuz Pak,” jawabnya sambil dia meletakkan ganget-nya ke kasur.

“Rasanya aku baru ketemu. Sudah berapa lama Deuz cuci darah? Bukan pasien baru kan?,” tanyaku.

“Saya pasien lama Pak. Saya sudah jalan tiga tahun ini”.

Aku masih tidak percaya dengan jawabannya. Tubuh Deuz gemuk, kulitnya juga masih cerah. Tidak pucat, tidak tampak kehitaman. Bila pasien sudah cuci darah tiga tahun, tanda-tanda itu muncul. Pucat karena HB-nya rendah.

Aku juga terkejut ketika mengetahui usianya masih 27 tahun. Muda sekali dia harus cuci darah. Seperti kebanyakan pasien cuci darah lainnya, faktor penyebabnya karena menderita tekanan darah tinggi tetapi  tidak diobati secara benar.

Dia enak diajak bicara. Walau harus aku yang selalu memulai pembicaraan. Tapi, setelah beberapa lama dialog kami berdua mengalir, justru Deuz dengan   panjang lebar bercerita. Mungkin, dia mulai berkesimpulan aku dapat  dipercayanya.

Deuz mulai berani bercerita kisah awal-awal cuci darah.

”Satu tahun aku mengalami down. Selama itu aku mengurung diri di kamar. Tidak mau bertemu dengan teman. Yang datang menengok aku usir. HP kumatikan. Aku memutuskan dari kehidupan dunia luar,” ujarnya dengan lirih.

Selama setahun itu hanya mamanya yang Deuz percaya. Tapi lambat laun ada datang orang lain dalam kehidupannya. Awalnya, seorang suster meminta nomor HP.

“Aku beri nomor HP ku, toh belum tentu aku akan berkomunikasi dengannya,” ujarnya.

Pengakuan Deuz selanjutnya, sang suster rajin sms dirinya. Memberi perhatian dan memberi semangat. Dari smslebih jauh lagi berubah saling berbalas pesan di Black Berry. Sang suster, yang dirahasiakan namanya itu. Bahkan ia berani meminta ijin mama Deuz  agar boleh anaknya diizinkan  menghadiri pesta ulang tahun perkawinan salah seorang pasien.

“Itu pertamakali mama mengijinkan aku keluar dengan orang lain. Selama setahun, mama menjagaku dengan berlebihan. Aku dilarang keluar rumah sendirian atau dengan orang lain. Mama kuatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena penyakitku,” ujarnya sambil mengenang peristiwa itu.

Peristiwa itu menjadi awal bagi Deuz untuk berhubungan dengan dunia luar. Dia sudah tidak malu lagi kepada temannya. Mulai bertemu dengan teman-teman lamanya. Kepercayaan dirinya mulai tubuh. “Kalau orang lain bisa, kenapa aku juga tidak?” ujarnya

Mulailah pria gemuk ini menemui teman-temanya. Kehidupannya mulai tertata lagi. Ia mulai memahami bahwa mengurung diri di rumah hanya akan menambah sengsara hidupnya.

Kadang kecerian Deuz membuatnya tidak waspada. Suatu hari, ketika sedang bugar-bugarnya, nafsu makannya  meningkat,  dia memakan buah kurma.

“Padahal aku hanya memakannya sepuluh buah,” katanya.

Tak sampai menunggu dua puluh empat  jam,  tubuhnya mengalami masalah. Dia  koma. Oleh mamanya  dilarikan ke ICU RS JMC (Jakarta Medical Center).

“Darah mengalir dari hidung dan telinga. Kata dokter,  mataku sudah merah karena darah  mengenangi bola mataku,” ucapnya kepadaku  sambil bibirnya bergetar.

Menurut Deuz, ia mengalami hiper kalium. Seorang penderita gagal ginjal kronik harus membatasi asupan kalium. Selain sayuran dan buah-buahan, kurma termasuk makanan yang tinggi kandungan kaliumnya.

Deuz terpaksa menghentikan ceritanya. Suster mau mengukur tensinya. Ketika cuci darah memang pergerakan tekanan darah pasien harus dikontrol, Saat HD, rawan terjadi kenaikan dan penurunan tensi. Bila terlalu tinggi biasanya dokter akan memberi obat. Kalau terlalu rendah akan dihentikan sementara cuci darahnya. Agar meningkat lagi tensinya, kaki pasien dinaikan di atas, diberi oksigen, dan disuruh makan lagi. Kenaikan tensi tinggi dan penurunan tensi rendah sangat membahayakan jiwa pasien HD.

“Berapa hari kamu koma di ICU? Apakah sebelum makan korma, dirimu juga memasukan asupan buah dan sayuran dalam jumlah yang banyak?,” tanyaku setelah suster selesai mengukur tensinya.

“Sama sekali tidak. Sayur dan buah cukup terkontrol. Sangat sedikit yang aku konsumsi saat itu. Bahkan, aku makan kurma itu sehabis cuci darah. Tubuhku dalam keadaan tidak menimbun kalium.

Deuz bercerita kalau dia mendapat kurma di tempat HD. Kata temannya, kurmanya dari Mekah. Dia habis menjalankan Ibadah Umroh. Setibanya di rumah malam hari, sembari tiduran dia memakan kurma bersama mamanya.

Dalam tidurnya, Deuz mengalami sesak nafas dan sangat gelisah. Di pagi hari, ketika orang sudah bangun dari tidurnya, justru dia tak sadarkan diri.

“Kata adikku yang pertama kali melihat darah keluar dari hidung dan telingaku. Katanya pula, mama langsung membawaku ke ICU JKC. Dokter Rina yang bertugas di ICU mengatakan kalau aku kelebihan kalium. Kata dokter itu, kurma sangat tinggi kandungan kaliumnya.

Deuz Koma hari Kamis pagi, Jumat malam sudah sadar. Sabtu, pada pagi hari langsung dibawa ke JKC untuk medapat cuci darah. Dokter Riza yang merawat Deuz juga mengatakan hal yang sama.

”Dari data yang ada, kamu begini karena makan kurma. Kamu kan habis HD. Makan buah dan sayuranmu juga terkontrol,” ujar Deuz sambil menirukan nasehat dr. Riza yang terkenal kecantikannya itu.

Mati Suri

Pemuda gemuk pengemar automotive itu,  tren kondisi psikologinya dalam keadaan membaik.  Dari mengurung diri, berubah menjadi pemuda yang menemukan kehidupannya kembali. Teman-temanya yang dulu telah kembali bercengkerama dengannya.

Teman-temannya juga bertambah lagi. Anak gaul itu sangat akrab dengan para suster. Bila melihat postingan facebooknya, beberapa kesempatan dia berkaroke bersama beberapa suster. Deuz terbuka pandangannya, ternyata suster-suster itu tidak seperti kebanyakan perempuan yang dia kenal. Dekat kepadanya karena faktor uang dan keroyalan Deuz. Para suster itu tulus. Bersahabat dengannya karena Deuz memang sedang mendapat ujian. Para suster itu ingin Deuz ceria dan bisa menjalani hidup layaknya orang sehat.

Tapi terkadang kebosanan juga datang melanda. Suasana hati seperti itu tak sedikit juga melanda pasien cuci darah lainnya. Cuci darah yang harus dia jalani seminggu 3 kali membuatnya tidak leluasa beraktivitas layaknya orang sehat. Pola hidup, seperti harus ketat menjalankan diet. Makan buah dan sayur sangat dibatasi. Minum air dibatasi hanya satu botol aqua 600 ml seharinya.

Pada suatu hari tekanan itu menguat, bahkan mencapai puncaknya. Datang dan tak mampu dibendungnya.

“Aku menerjang aturan itu. Dalam satu hari itu aku meminum air tidak memakai takaran lagi. Entah berapa liter kuminum. Akibatnya,  aku mengalami sesak nafas. Dari rumah menuju JKC aku mendapat pertolongan oksigen. Cuci darah saat itu tidak menyelesaikan problem sesak nafasnya.

Di tengah jalan menuju pulang kondisinya semakin memburuk. Mamanya yang mendampingi di mobil langsung membawanya ke RSCM. Deuz dibawa langsung ke ICU. Tekanan Darahnya mencapai 260/130. Alat-alat mulai ditempelkan dalam tubuhnya. Dokter memasang alat semacam chateter double lumen. Melalui alat itu ada sebuah mesin memompa cairan yang mengenang paru-paru untuk dikeluarkan.

“Saat itu aku mengalami black-out. Aku tak sadarkan diri,” tuturnya dengan nafasnya tak beraturan.

“Kata mama,  beberapa jam kemudian aku meninggal. Dokter sudah menandatangani surat kematianku. Dia mencari mamaku yang sedang istirahat makan. Oom ku langsung pingsan mendengar berita itu. Tetapi mama ku tidak mau menandatangani surat kematian itu,” tuturnya lagi tapi kini dengan menangis.

Pemuda gagah itu kini terdiam. Suara segukan tangisnya terdengar dari tempat tidurku yang berjarak 50 cm. Tubuhnya lumayan bergetar. Beberapa kali sapu tangannya menyelamatkan selimutnya dari basah kejatuhan air matanya.

“Aku nggak tahu kalau tak ada mama saat itu. Beliau ngotot tidak mau tanda tangan. Bahkan dia memaksa dokter untuk memasang alat-alat lagi ke tubuhku. Pompa dong jantungnya. Dia berhak untuk dapat hidup lagi, teriak mamaku,” ujarnya lagi dengan tersendat-sendat.

“Kematianku hanya berlangsung 26 menit. Kata adiku yang melihatku, tanganku mulai bergerak. Aku mulai mengeluarkan air mata. Dokter segera memasang alat-alat ke tubuhku kembali,”

“Beberapa jam kemudian aku siuman. Aku hanya terbengong menyaksikan  mereka menangis. Tubuhku lemah sekali, seperti sehabis berlari mengelilingi lapangan yang begitu luas. Dokter mengatakan agar keluargaku tidak bergembira dahulu. Kata dokter itu,  kalaupun hidup aku akan mengalami kecacatan seperti terkena stroke. Pembuluh darahku mengecil karena darah tidak mengalir lumayan lama,”

“Mama terus berjuang sekuat tenaga menolongku. Dia meminta saat itu juga cuci darah. Dokter bersikeras menolak. Katanya baru sore tadi cuci darahnya. Ditambah dia drop sekali. Anak ibu bisa selamat tetapi juga bisa meninggal kalau  cuci darah sekarang ini juga. Tapi mamaku mengambil keputusan cuci darah saat itu juga. Dia mengatakan, adalah hak anaku untuk tetap bertahan hidup,” ujar Deuz dengan begitu emosialnya.

“Ketika mati suri, aku dapat melihat orang di sekelilingku, tetapi tidak bisa melihat jasadku. Aku melihat mama didampingi oleh tiga orang yang wajahnya tak jelas, karena tertempa  cahaya putih menyilaukan. Mereka menangis dengan begitu sedihnya. Mereka meneteskan air mata dengan begitu  deras. Aku berteriak kepada mereka,  tetapi aku tidak bisa mengeluarkan suara. Aku menjadi frustasi, penjelasanku kalau aku masih hidup tak sampai kepada mereka,” ungkap Deuz dengan tangannya menggigil dan wajahnya begitu sendu.

Tiba-tiba dia terdiam. Memikirkanan sesuatu. Mungkin masih larut dengan ingatan masa lalunya itu. Ia sangat terbawa emosi. Rasanya, aku ingin menepuk pundaknya. Menenangkan dan memberi dukungan kepadanya. Sayang, cuci darah masih berlangsung. Aku tak mampu menjangkaunya. Kubiarkan dia terdiam dengan pikirannya sendiri.

“Pak tanganku merinding,” ujarnya

Ia perlihatkan ke aku. Tangannya merinding karena mengingat kejadian yang begitu menguncang hidupnya. Dia dinyatakan mati dan hidup kembali.

“Sungguh aku bersyukur kepada Tuhan. Dia masih memberi aku kesempatan hidup sampai dua kali lagi.

“Aku beruntung punya mama seperti itu. Dia telah menyelamatkanku dari kematian, dengan usaha kerasnya menyakinkan para dokter. Sulit menggambarkan cintaku dan sayangku kepada mama. Dia the best,” puji Deuz dengan sungguh-sungguh.

Peristiwa itu sangat mempengaruhi hidupnya. Sungguh Deuz menjadi orang “terpilih”. Tuhan sangat “percaya” kepadanya, sampai diberi kesempatan hidup lebih dari sekali.

“Aku harus bisa menghargai hidup. Aku ditempa bukan untuk mati tetapi untuk  menghargai kehidupan. Aku harus benar-benar berubah dan bangkit dengan sesungguhnya,” janjinya kepadaku sambil mengusap air matanya.

Kini, anak muda yang sangat disayangi mamanya itu sedang merencanakan skenario bagi jalan hidupnya kelak. Gol telah ia tetapkan. Sederetan agenda dan program sedang dia siapkan. Ia ingin menjadi seperti yang lainnya, mempunyai cita-cita hidup yang tinggi.

“Aku ingin berkarya, menjadi seorang bisnisman. CAPD (Continuous ambulatory peritoneal dialysis- alat bantu cuci darah secara mandiri-red) bagiku salah satu jalan keluarnya. Dengan CAPD aku tidak terikat lagi dengan jadwal cuci darah yang tiga kali seminggu. Cuci darah secara mandiri bisa kulakukan di rumah atau di kantor di mana nantinya aku bekerja,” ucapnya dengan kepala tegak.

Cuci darahnya sudah usai. Dia mengemasi bekal makan dan minum, serta kotak obatnya. Dia masukan ke dalam tas jinjing belanja yang terbuat dari plastik. Dia mantap melangkah pulang.

Sampai ketemu tiga hari lagi bung. Dirimu pemuda yang beruntung. Semoga berhasil,” ujarku sambil melambaikan tangan dengan tubuhku yang masih terbaring di tempat tidur.

*Penulis adalah Sekretaris Jendaral Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)

Sumber: www.bergelora.com

Leave a Reply