Cobaan Belum Berakhir (Tulisan Ke 9)

Oleh: Petrus H. Hariyanto*

JAKARTA- Hari ini Rabu, tanggal 20 Maret 2016, ada kabar Tony sudah boleh pulang ke rumah. Kalau dihitung dari tanggal 14, dia hanya butuh  enam hari  dirawat, paska operasi transplantasi ginjal.

Aku cukup kaget. Kupikir dia akan sebulan lebih di ruang isolasi RSCM. Aku pernah mendengar kisah mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan yang melakukan cangkok hati. Katanya dia harus berbulan-bulan di ruang isolasi. Pernah  dia menasehati bawahannya yang saat itu transplantasi  ginjal agar taat berada di ruang isolasi. Katanya, saudarapun  jangan ditemui.  Hal itu dilakukan agar operasi berhasil, tidak terinfeksi kuman dan virus.

“Tony sudah boleh pulang Pak, karena semua berjalan dengan baik dan tidak ada keluhan. Pihak RSCM mengatakan juga untuk terhindari penularan virus dan bakteri.  Penyebabnya,  karena ada satu pasien cangkok ginjal yang masuk,” ujar Eva lewat handphone.

Aku memang mendengar dari Tony bahwa paska operasi dia akan ditaruh di ruang khusus yang sudah bukan  VVIP. Satu ruangan disekat menjadi dua ruangan untuk dua pasien. Sebelum  operasi ruangan  itu belum jadi. Tony  masih ditempatkan di ruang  VVIP.

Waktu aku bezuk dia, ada bunyi berisik di sebelah ruangnya. Aku tanyakan ke Tony kenapa ruang sebelah berisik.  “Mereka sedang membuat ruang khusus non VVIP pak Har. Persis di sebelah sini,” ujarnya sambil telunjuknya mengarah ke sebelah ruangan di mana dia dirawat saat iitu.

Ruang itu dibuat mendadak, untuk keperluan  operasi cangkok ginjal Tony. Sebelumnya, RSCM hanya mempunyai rawat inap untuk cangkok ginjal berklas  VVIP. Satu kamar untuk satu orang. Tentu saja berbayar. Kalau pun menggunakan BPJS masih harus cost sharing.

Bisa dibilang Tony dan KPCDI telah mendobrak ketentuan itu. Kini, pengguna BPJS bisa cangkok ginjal. Hanya saja harus mau ditaruh ruang khusus non VVIP, di mana satu kamar disekat menjadi  dua ruangan.

“Tak satu persenpun aku ditarik biaya saat  keluar dari RSCM. Perjuangan kita berhasil Pak Hari. Semoga banyak pasien miskin yang bisa cangkok Ginjal,” ucapnya ketika menelpon aku persis ketika  dia keluar dari RSCM.

Tony juga menceritakan kalau Dirut RSCM sempat meninjau kamarnya. “Dia tidak masuk hanya melihat-lihat  aku dari balik pintu kaca. Mungkin dia ingin melihat pasien yang telah membuat RSCM kalang kabut karena dibombardir berita di media massa  dan ditekan anggota parlemen,” ujarnya sambil tertawa lebar.

“Kalau  di rumah nanti bagaimana?. Sudah ada ruang isolasinya?,” tanyaku.

“Sudah selesai. Kemarin dikebut. Bahkan aku minta diundur satu hari kepulanganku  menunggu ruang isolasi di rumah jadi dulu”

Beberapa hari kemudian aku menelpon Eva menanyakan kondisi Tony. “Feo sudah bisa melihat papanya. Walau itu hanya dari jendela. Itu sudah membuat Feo senang sekali” ujar Eva.

Kata Eva, justru sekarang Tony kesulitan minum air. Sehari ia harus minum air minimal dua liter. Kalau kurang bisa terjadi pendarahan. Sehari ginjalnya harus tercukupi air.

“Pak, rasanya kembung minum air banyak. Tak seperti yang kita bayangkan ketika masih sakit. Aku sudah bermimpi minum sepuasnya. Ketika itu terwujud malah sudah nggak bernafsu minum. Bahkan minum sebanyak itu merupakan siksaan,” keluhnya.

Tony sudah jenuh minum air dalam jumlah yang banyak. Sementara aku hari ini begitu tersiksa menahan haus. Hari begitu panas, walau masih dalam musim penghujan. Agar tak banyak minum, aku siasati dengan mandi untuk mendinginkan  badan. Kalau kuhitung sudah enam kali sampai pukul 15.00 WiB ini aku mandi. Pernah sehari aku mandi sampai 17 kali.

Maklum, di rumah aku tak pasang AC. Aku tidak tega memasangnya karena akan membebani biaya bulanan. Biarlah uang  itu untuk menambah gizi makan anak-anak ku. Biaya pengobatanku sudah begitu mengerus keuangan rumah tanggaku.

Kalau aku pikir-pikir, penderita gagal ginjal justru punya nafsu minum begitu tinggi. Maunya minum. Padahal,  dulu semasa  sehat bisa jadi malas minum. Hasrat minum tidak sekencang sekarang.

Aku juga menganggap Tony aneh. Sudah diperbolehkan malah malas. Aku saja hampir setiap hari bermimpi menegak air segelas penuh. Aku membayangkan kepuasannya. Sudah hampir setahun ini kalau minum seteguk demi seteguk kecil. Sangat sedikit sekali. Hanya membasahi tenggorakan. Sebagai penderita diabetes mulut sering menjadi kering. Mengatasinya dengan hanya kumur-kumur agar mulut tidak kering.

Teringat temanku, Bu Meiner namanya. Setiap hari dia mencoba ngirit minum air. Kalau menjelang cuci darah dia menimbang dan naiknya cuma satu kilo, ia bergegas beli es teh. Mumpung mau cuci darah kilahnya. Segelas penuh dia habiskan. Seteguk demi seteguk air dingin itu ia minum. Sambil berucap mantap, benar-benar nikmat. Itulah kebiasaan Bu Meiner agar bisa menikmati nikmatnya hidup di dunia.

Lain lagi dengan temanku  Novi. Setiap bangun pagi dia pasti kehausan. Lebih segelas air  ia tenggak. Agar tak menimbun dalam tubuh, jari tangannya dia masukan ke dalam mulut agar dia muntah, agar air yang dia minum keluar lagi..

Minum dalam jumlah banyak adalah salah satu pantangan bagi kami. Dalam empat bulan ini kami sudah kehilangan dua teman. Om Bernad dan Pak Jimi. Mereka berdua sudah putus asa karena setiap hari harus  menahan haus. Di akhir-akhir hidupnya dia langgar patangan itu. Minumnya sudah tidak terkendali. Tubuhnya tergenang air, dan pelan-pelan kondisinya melemah,  dan akhirnya meninggal.

Rawat Inap

Ruangan itu sangat  dingin dan  wangi. Lantainya begitu bersih dan licin. Rasanya sulit menemukan  sampah walau hanya secuil di lantai keramik  ini.

Ruangan begitu mewah ini bernama RSCM Kencana. Sangat kontras dan jauh berbeda dengan RSCM (tanpa embel-embel Kencana). Selain denahnya rumit, RSCM terlihat begitu kusam, baik tembok dan lantainya.  Soal pendingin ruangan juga tidak merata. Ada ruangan yang dingin sekali, ada yang sama sekali AC-nya mati. Belum lagi,  di setiap sudutnya bisa kita jumpai pasien sakit keras bergeletakan menunggu giliran diperiksa.

Sama-sama milik Kementerian Kesehatan, tetapi keduanya beda “kasta”. Satu untuk orang miskin yang berobatnya menggunakan BPJS. Sedangkan Kencana diperuntukan bagi orang-orang kaya.

Aku jadi teringat cerita bos-ku yang waktu itu Ketua Komisi IX DPR RI (periode 2009 s.d 20014) Katanya, RSCM Kencana dibangun bertujuan agar orang kaya di Indonesia mau berobat di dalam negeri, sehingga menghemat devisa.

Sang bos menolak ide Menteri itu. Dia berpikir uang APBN harus difokuskan untuk membangun Rumah Sakit bagi orang miskin karena memang di Indonesia jumlahnya masih kurang. Sayang,pendapat  bos ku minoritas, mayoritas fraksi di Komisi IX mendukung sikap sang menteri.

Baru di ruang lobi saja badanku sudah begitu segar kembali. Padahal aku datang kemari dengan badan loyo karena berjam-jam antri di Poli Ginjal Hipertensi RSCM. Sebagai penderita gagal ginjal tubuh mudah capek bila terkena udara  panas. Akan menjadi segar kalau berada di dalam ruangan  dingin.

Sesampai di lantai atas, aku semakin bugar. Aku mencari kamar no 703. Lewat wa Tony memberitahu  nomor kamarnya. Ternyata dia dirawat di ruang VIP. Khusus kawasan yang diperuntukan bagi pasien cangkok ginjal.

Dengan mantap aku buka pintunya. Benar juga di sana ada Tony. Dia memakai masker. Di samping tempat tidurnya ada dua orang yang menunggunya.

Sebelum melangkah lebih dekat aku mencuci tanganku dengan alkohol, yang memang tersedia di ruang itu. Aku langsung mengambil masker yang sudah kupersiapkan sebeluimnya.

“Silahkan duduk Pak Hari,” sapa Tony menyambut kedatanganku.

Aku tidak berjabat tangan dengan Tony. Aku kuatir tanganku masih ada kumannya. Yang kuajak bersalaman hanya dua perempuan di samping Tony.

“Saya Pak hari ibu,” kataku memperkenalkan diri.

“Saya Mamanya Tony,” ucapnya sambil tersenyum

Ketika aku menyalami perempuan satu yang masih muda, Tony langsung berucap kalau dia adalah perawat pribadinya yang membantunya  di rumah.

“Aku dapat rekomendasi dari Pendeta  Untuk mendapatkan dia,” ucap Tonya lagi.

Teringat aku akan Pendeta Benget Tambunan. Dia mendonorkan ginjalnya untuk istrinya yang juga Pendeta bernama Keyse Supit. Kami berdua sempat main ke sana. Waktu itu mengantarkan kru MNC TV, untuk membuat liputan tentang perdagangan organ ginjal.

Aku teringat juga akan kamar isolasi istrinya. Ruang isolasi  itu ada dalam sebuah kamar dan dikelilingi dinding kaca. Hanya satu orang yang boleh masuk, yakni perawat pribadinya. Yang lainnya hanya diperbolehkan melihat dari balik kaca.Dan sekarang sang perawat membantu Tony.

“Gimana kondisimu? Tidak ada yang perlu dikuatirkan?,” tanyaku dengan nada cemas kepadanya.

“Indikasi rejection Pak Hari. Tapi dua hari lagi  akan diperiksa laboratorium (3/4/2016). Doakan semoga hasilnya baik-baik saja,” ucapnya dengan lirih.

Kulihat Tony berusaha senyum. Mungkin dia berpikir agar aku tidak kuatir  akan kondisinya. Tapi, kutangkap senyumnya berat sekali. Walau aku tak melihat mulutnya,  karena tertutup  maskar, tapi aku bisa melihat matanya yang tak berani menatapku dengan kuat-kuat. Seringnya,  wajahnya dia tolehkan ke kiri dan ke kanan.

Aku tahu dia dalam kondisi stres dan rasa kuatirnya tinggi. Aku jadi enggan bertanya lebih lanjut. Suasana menjadi hening tanpa percakapan kami berdua.

Aku menunggu Tony yang  memulai percapakan. “Kamar ini mahal Pak Hari.  Menginap  sehari harganya  Rp 1,5 juta. Hanya rawat napnya, itu belum nanti obat dan visdi dokter, ” Ucapnya memecah keheningan.

“Kenapa tidak di RSCM saja? Kan bisa gunakan BPJS?,”.  Tanyaku dengan nada heran.

“Keburu tak tertangani. Di RSCM harus antri. Kamar pebuh. Tidak jelas kapan dirawatnya. Aku ngalah. Aku pakai uang pribadi saja agar cepat dirawat,” ucapnya dengan nada kecewa.

Aku berusaha untuk mendengarkan  saja. Aku melihat Tony akan menceritakan kenapa dia harus dirawat di RSCM Kencana.

Ternyata Tony mengalami problem serius paska operasi. Kondisinya menurun. Dia mengalami batuk dan sesak nafas. “Pasti ada air di paru-paru. Aku buat jalan hanya tiga langkah saja terasa sesak,” ungkapnya.

Kondisi itu membuat Tony harus menggunakan oksigen. Bahkan okaigen terpasang sepanjang hari. Untuk dapat tidur posisinya harus  duduk. Paru-parunya mulai berbunyi untuk bernafas.

“Aku takut  rejection acute Pak. Kreatinin ku  4,3 dan ureum ku  160 “ucapnya dengan bergetar.

Kata itu bagai petir bagiku. Terkejut sekali aku mendengarnya. Membuat aku juga ketakutan. Terbanyang wajah istri Tony. “Ya Tuhan, dia sudah mengorbankan ginjalnya

buat Tony. Kalau cangkok ginjal ini gagal bagaimana dengan dia?,”

Terbayang juga wajah lucu Feo, anak Tony. “‘Ya ampun dia akan tetap bersama ayahnya yang harus rutin cuci darah,” ucapku dalam hati.

Aku terdiam. Tak juga mengeluarkan kata-kata. Mau melangkah maju untuk  memberi tepukan di punggungnya juga tak mugkin. Aku berusaha tak melakukan kontak langsung  ke dia. Takut aku membawa virus ke tubuhnya.

Untung ibunda Tony memegang tangan Tony. Kemudian merangkulnya. Walau tanpa kata-kata  itu sudah cukup membuat Tony tegar lagi. Ada tanda-tanda dia mau bercerita lagi. Mungkin dengan begitu bisa membuat dirinya lega.

“Jika Tuhan boleh mempersatukan roh dan daging kami lewat pernikahan dan lalu memperoleh keturunan, tentunya Tuhan juga akan izinkan ginjal istri saya bersatu didalam tubuhku”

“Itu doa ku  sepanjang malam,”

“Aku ingin tetap bersamaNya walau dalam kondisi seperti ini. Apapun keputusan dariNya nanti itu pahit,  aku tetap menerima. Aku taat kepadaNya,” ucap Tony dengan nada yang mulai tegar.

Aku menatapnya dengan tajam. “Kamu pasti berhasil Ton. Doa  ku untukmu. Teman-teman menitip salam. Kamu pasti berhasil,” ujarku dengan mantap.

Tony berpesan, agar hal ini jangan ditulis dulu. “Takut berdampak negatif. Membuat patah semangat orang yang mau cangkok ginjal,” pintanya.

Kami, yang tergabung di Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) memang  sedang mengkampanyekan donor ginjal sebagai solusi yang tepat bagi  penyandang gagal ginjal kronik. Melalui momen transplantasi Tony yang menggunakan BPJS, kita ingin itu menjadi kisah inspiratif. Agar banyak Tony Tony  yang lainnya.

Tak lebih satu jam aku aku membezuknya. Selama perjalanan pulang, aku melamunkan anak muda lulusan UGM itu. Teringat perjumpaan pertama ku denangnya  di ruang tunggu Klinik JKC (Jakarta Kydnei Center)  yang masih di Mampang Prapatan. Saat itu aku baru menjadi pasien cuci darah, sekitar akhir tahun 2014.

Anak muda itu begitu ceplas-ceplos ngomongnya. Dia katakan, berani berdebat dan menghardik pegawai Dinas Kesehatan DKI karena mempersulit pengurusan SKTM (Surat Keterangan Miskin). Saat itu belum ada BPJS.

Surat itu menentukan hidup matiku. Aku harus berjuang sekuat tenaga. Dan itu adalah hak ku sebagai warga Jakarta,” ucapnya kala itu dengan penuh semangat.

Pertemuan pertama itu bagiku berkesan. Aku berpikir dia adalah anak yang bisa menjadi patnerku di sini. Dalam benakku saat itu harus ada perkumpulan bagi pasien untuk memperjuangkan haknya. Dia orang yang tepat untuk diajak berkerjasama untuk mewujudkan impian itu.

etahun berikutnya baru terlaksana. Di hari Peringatan Ginjal Se-dunia, kami mengeluarkan pernyataan sikap. Kami adalah KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia).

Kini, KPCDI telah membesar. Aku sangat berharap dia berhasil transplannya. Teman-teman juga berharap dia segera sehat dan berjuang untuk  semakin membesarkan KPCDI. Kami semua yakin, bila sudah sehat dia akan mendarmakan tenaganya buat perjuangan pasien cuci darah.

Lamunanku terhenti ketika aku menaiki Bemo menuju stasiun Manggarai. Seperti biasanya, sore hari penumpang begitu banyak. Bemo itu begitu sempit ketika penumpangnya sudah mencapai tujuh orang.

Sebuah rutinitas yang harus kujalani. Entah sampai kapan.

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).

Sumber: www.bergelora.com

Leave a Reply